Senin, 03 Oktober 2011

Hikmah Penanggalan Qomariyah Dalam Penentuan Ibadah dan Cara Menyikapi Perbedaan Penentuan Awal Bulan



1.      Pendahuluan

            Aplikasi astronomi (ilmu falak) yang langsung dirasakan masyarakat umum yang utama adalah penentuan waktu dan arah. Umur Astronomi bisa dikatakan sama dengan umur peradaban manusia. Matahari, bulan, dan bintang-bintang hampir tak lepas dari kehidupan manusia. Keteraturan peredarannya dan posisinya yang hampir tetap di langit pada suatu musim telah dijadikan sebagai penentu waktu dan arah.
            Pada awal peradabannya, ketergantungan manusia pada benda-benda astronomis itu demikian kuatnya, sampai-sampai ada yang mempertuhankan matahari atau bintang paling terang (Sirius). Karena ketergantungannya, mereka pun selalu memperhatikan perubahan-perubahan di langit. Dari pengalaman empirik tentang keteraturan peredaran benda-benda langit itu kemudian berkembanglah astronomi yang pada awalnya memfokuskan pada peredaran dan posisi benda-benda langit.
            Almanak astronomi merupakan salah satu produk evolusi pengetahuan manusia yang memungkinkannya tidak perlu setiap saat memperhatikan langit. Keteraturan di langit telah dirumuskan secara sistematik di dalamnya sehingga memudahkan orang dalam memprakirakan fenomena astronomis -- terutama setelah ditemukannya teknologi alternatif penentuan waktu (:jam) dan arah (:kompas). Almanak astronomi adalah tabel, buku, atau perangkat lunak komputer yang menyajikan informasi tentang waktu kejadian fenomena astronomis seperti saat terbit/terbenamnya matahari dan bulan, fase bulan, posisi matahari, bulan, dan planet-planet, gerhana atau okultasi benda-benda langit, serta waktu bintang (sidereal time).
            Namun kemajuan teknologi kemudian memunculkan masalah baru. Dikhotomi hisab (perhitungan astronomi) dan rukyat (pengamatan astronomi) demikian lama menjadi perdebatan hukum. Demikian juga timbul masalah lokal, regional, dan global akibat berkembangnya teknologi informasi. Tanpa pemahaman dasar-dasar astronomi dan syariat, masyarakat akan selalu dibuat bingung.
            Pada makalah ini akan dibahas beberapa hal berkaitan dengan penentuan bulan qamariyah dan problematikanya. Pertama, akan dibahas masalah penentuan waktu. Kedua, masalah sifat ijtihadiyah penentuan awal bulan qamariyah. Ketiga, masalah globalisasi kelender hijriyah. Keempat, cara menyikapi perbedaan. Terakhir, masalah mencari titik temu penentuan awal bulan qamariyah.

2.      Penentuan waktu
            Hilal (bulan sabit pertama yang bisa diamati) digunakan sebagai penentu waktu ibadah. Perubahan yang jelas dari hari ke hari menyebabkan bulan dijadikan penentu waktu ibadah yang baik. Bukan hanya umat Islam yang menggunakan bulan sebagai penentu waktu kegiatan ritual keagamaan. Umat Hindu menggunakan bulan mati sebagai penentu hari Nyepi. Umat Budha menggunaka bulan purnama sebagai penentu waktu Waisak. Umat Kistiani menggunakan purnama pertama setelah vernal equinox (21 Meret) sebagai penentu hari Paskah, yaitu hari Ahad pertama setalah purnama tersebut.
            Islam mengakui matahari dan bulan sebagai penentu waktu (QS 6:96; 10:5) karena keduanya mempunyai periode peredaran yang teratur yang dapat dihitung (QS 55:5). Matahari digunakan untuk penentu pergantian tahun yang ditandai dengan siklus musim. Kegiatan yang berkaitan dengan musim (seperti pertanian, pelayaran, perikanan, migrasi) lebih praktis menggunakan kalender matahari.
            Namun, kalender matahari tidak bisa menentukan pergantian hari dengan cermat. Padahal untuk kegiatan ritual agama kepastian hari diperlukan. Maka untuk kegiatan agama, kalender bulan (qamariyah) digunakan. Pergantian hari pada kalender qamariyah mudah dikenali hanya dengan melihat bentuk-bentuk bulan. Hilal pada saat maghrib menunjukkan awal bulan. Setiap hari sabit bulan makin tebal dan posisinya makin tinggi, bergeser ke arah timur 12 derajat, kira-kira selebar kepalan tangan bila direntang ke depan. Bulan setengah pada saat maghrib menunjukkan tanggal 7 atau 8 (tergantung pengamatan hilalnya). Dan bulan purnama menunjukkan tanggal 14 atau 15 (tergantung pengamatan hilalnya). Fase-fase bulan jelas waktu perubahannya dari bentuk sabit sampai kembali menjadi sabit lagi (QS 36:39).
            Rasulullah SAW memberi pedoman praktis tentang penggunaan hilal sebagai penentu waktu: "Berpuasalah bila melihatnya dan beridul fitri-lah bila melihatnya, bila tertutup awan sempurnakan bulan Sya’ban 30 hari" (HR Bukhari-Muslim). Dan dalam hadits lain, "Bila tertutup awan perkirakan" (HR Muslim). Karena umur rata-ratanya 29,53 hari, satu bulan hanya mungkin 29 atau 30 hari, jadi mudah diperkirakan atau amannya genapkan (istikmal) saja menjadi 30 hari.
            Pedoman yang diberikan Rasulullah SAW sangat sederhana. Karena memang Allah dan Rasulnya tidak hendak menyulitkan ummatnya. "Allah menghendaki kemudahan bagimu, bukan menghendaki kesulitan" (QS 2:185). Dalam pelaksanaan ibadah shaumnya Allah memberikan keringanan-keringanan bagi yang mengalami kesulitan (sedang sakit atau dalam perjalanan), mestinya dalam penentuan waktunya pun tentunya tidak menghendaki kesulitan.
            Kini penentuan awal bulan tidak terbatas hanya dengan rukyatul hilal (pengamatan hilal). Ada alternatif lain yang juga sederhana: ilmu hisab (perhitungan astronomi). Berdasarkan pengalaman ratusan tahun, keteraturan periodisitas fase-fase bulan diketahui dengan baik. Lahirlah ilmu hisab untuk menghitung posisi bulan dan matahari. Akurasinya terus ditingkatkan, hingga ketepatan sampai detik dapat dicapai. Ketepatan penentuan waktu gerhana matahari, yang hakikatnya ijtimak (segaris bujurnya bulan dan matahari) yang teramati, sampai detik-detiknya merupakan bukti yang tak terbantahkan.
            Hisab dan rukyat punya kedudukan sejajar. Rukyat harus tetap digunakan karena itulah cara sederhana yang diajarkan Rasul. Hisab pun dijamin eksistensinya, karena Allah menjamin peredaran bulan dan matahari dapat dihitung (QS 55:5). Sumber perbedaan terletak pada keterbatasan manusia dalam mengatasi masalah atmosfer bumi dan batas kepekaan mata manusia. Keberhasilan rukyat tergantung kondisi atmosfer. Akurasi hisab terbentur pada formulasi faktor atmosfer bumi untuk kriteria hilal agar teramati. Tidak ada superioritas di antara keduanya. Superioritas justru sering muncul dari para penggunanya.
            Jadi, secara umum alasan utama dipilihnya kalender qamariyah -- walau tidak dijelaskan secara eksplisit di dalam Hadits maupun Alquran -- nampaknya karena alasan kemudahan dalam penentuan awal bulan dan kemudahan dalam mengenali tanggal dari perubahan bentuk (fase) bulan. Ini berbeda dari kalender syamsiah (kalender matahari) yang menekankan pada keajegan (konsistensi) terhadap perubahan musim, tanpa memperhatikan tanda perubahan hariannya.
            Dalam perkembangannya saat ini, ternyata penentuan awal Ramadan dan hari raya tidak lagi dapat dikatakan mudah. Dari segi teknis ilmiah, sebenarnya penentuannya memang mudah karena merupakan bagian ilmu eksakta. Tetapi dalam penerapannya di masyarakat susah, karena menyangkut faktor non-eksakta, seperti perbedaan madzhab hukum (a.l. ada yang menganggap hisab tidak sah), perbedaan mathla' (terkait dengan daerah berlakunya suatu kesaksian hilal), dan kepercayaan kepada pemimpin ummat yang tidak tunggal.

3.      Sifat Ijtihadiyah
            Dalam diskusi-diskusi tentang hisab dan rukyat, sering terlontar pernyataan bahwa rukyat bersifat qath’i (pasti) hisab bersifat dzhanni (dugaan) atau sebaliknya ada yang menyatakan hisab bersifat qath’i  rukyat bersifat dzhanni. Sifat qath’i atau dzhanni berkaitan dengan penetapan hukumnya. Ini berkaitan dengan ijtihad, yaitu usaha sungguh-sungguh para ulama dengan mengunakan akalnya untuk menetapkan hukum sesuatu yang belum ditetapkan secara tegas dalam Alquran dan Assunnah. Ijtihad menjadi sumber hukum ketiga sesudah Alquran dan Assunnah. Hal yang dianggap qath’i sudah dianggap pasti benarnya, tidak ada lagi interpretasi.
            Sebenarnya, kesaksian melihat hilal (ru'yatul hilal), keputusan hisab, dan akhirnya keputusan penetapan awal Ramadhan dan hari raya oleh pemimpin ummat semuanya adalah hasil ijtihad, yang hakikatnya bersifat dzhanni. Kebenaran hasil ijtihad relatif. Kebenaran mutlak hanya Allah yang tahu. Tetapi orang yang berijtihad dan orang-orang yang mengikutinya meyakini kebenaran suatu keputusan ijtihad itu berdasarkan dalil-dalil syariah dan bukti empirik yang diperoleh.
            Kesaksian rukyat tidak mutlak kebenarannya. Mata manusia bisa salah lihat. Mungkin yang dikira hilal sebenarnya objek lain. Keyakinan bahwa yang dilihatnya benar-benar hilal harus didukung pengetahuan dan pengalaman tentang pengamatan hilal. Hilal itu sangat redup dan sulit mengidentifikasikannya, karena mungkin hanya tampak seperti garis tipis atau sekadar titik cahaya. Saat ini satu-satunya cara di Indonesia untuk meyakinkan orang lain tentang kesaksian itu adalah sumpah yang dipertanggungjawabkan kepada Allah. Jaminan kebenaran rukyatul hilal hanya kepercayaan pada pengamat yang biasanya tidak bisa diulangi oleh orang lain.
            Hisab pun hasil ijtihad yang didukung bukti-bukti pengamatan yang sangat banyak. Rumus-rumus astronomi untuk keperluan hisab dibuat berdasarkan pengetahuan selama ratusan tahun tentang keteraturan peredaran bulan dan matahari (tepatnya, peredaran bumi mengelilingi matahari) (Q. S. 6:96). Makin lama, hasil perhitungannya makin akurat dengan memasukkan makin banyak faktor. Orang mempercayai hasil hisab karena didukung bukti-bukti kuat tentang ketepatannya, seperti hisab gerhana matahari yang demikian teliti sampai orde detik. Gerhana matahari pada hakikatnya adalah ijtimak (bulan baru) yang teramati. Maka jaminan kebenarannya lebih kuat dari pada rukyat, karena orang lain bisa mengujinya dan pengamatan posisi bulan bisa membuktikannya. Namun, dalam hal penetapan awal bulan hisab tergantung kriteria yang digunakan dalam mengambil keputusan. Ada yang berdasarkan wujudul hilal (hilal di atas ufuk), ada yang berdasarkan ijtima' qablal ghurub, dan ada juga yang berdasarkan imkan rukyat (syarat-syarat hisab untuk terlihatnya hilal berdasarkan pengalaman pengamatan).
            Keputusan penetapan awal Ramadan dan hari raya itu pun hasil ijtihad. Berdasarkan kesaksian ru'yatul hilal atau hisab yang dianggap sah, pemimpin ummat (pemerintah, ketua organisasi Islam, atau imam masjid) kemudian menetapkannya. Karena pemimpin ummat di dunia ini tidak tunggal, keputusannya pun bisa beragam, hal yang wajar dalam proses ijtihad. Akibatnya, perbedaan penentuan awal Ramadhan, Idul Fitri, atau Idul Adha semestinya dianggap hal yang wajar juga.
            Sifat ijtihadiyah hisab dan rukyat memungkinkan terjadinya keragaman. Baik hisab maupun rukyat sama-sama berpotensi benar dan salah. Bulan dan matahari yang dihisab dan dirukyat masing-masing memang satu. Hukum alam yang mengatur gerakannya pun satu, sunnatullah. Tetapi, interpretasi orang atas hasil hisab bisa beragam. Lokasi pengamatan dan keterbatasan pengamatan juga tidak mungkin disamakan.

3.1. Ijtihad Masalah Kriteria
            Semula para ulama mempertentangkan hisab dengan rukyat saja. Kini hisab pun dipertentangkan dengan hisab. Kriteria hisab mana yang akan dijadikan pegangan. Di Indonesia setidaknya ada dua kriteria hisab yang dianut: wujudul hilal (+ ijtimak qablal ghurub dan imkanur rukyat). Kriteria wujudul hilal menyatakan asalkan bulan telah wujud di atas ufuk pada saat maghrib sudah dianggap masuk bulan baru. Kriteria ini dipakai oleh Muhammadiyah (dengan prinsip wilayatul hukmi, wujud di sebagian wilayah berlaku untuk seluruh Indonesia), Persis pasca 4 November 2002 (tanpa prinsip wilayatul hukmi), dan Depag dalam penentuan kalender resmi pra-2002. Kriteria yang mirip adalah ijtima' qablal ghurub, asalkan ijtimak terjadi sebelum maghrib sudah dianggap masuk bulan baru. Kriteria ini tampaknya pernah digunakan dalam almanak Persis (pra-1422) yang hanya mencantumkan saat ijtimak. Kriteria lainnya adalah imkanur ru'yat, berdasarkan perkiraan mungkin tidaknya hilal dirukyat. Kriteria ini dalam rumusan kriteria MABIMS (Menteri-menteri agama Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura, tinggi bulan minimum pada saat maghrib 2 derajat dan umur bulan sejak ijtima' minimum 8 jam) digunakan oleh Depag RI sejak 2002 dan almanak Persis 1422 dan 1423.
            Perintah operasional puasa dan beridul fitri dalam hadits didasarkan pada rukyatul hilal. Di dalam Alquran walaupun bulan dan matahari disebut sebagai alat untuk perhitungan waktu (Q. S. 6:96), tetapi dalam prakteknya, hilal  yang dijadikan acuan (Q. S. 2:189), bukan posisi bulan. Wujudnya bulan di atas ufuk atau ijtima' qablal ghurub belum menjamin adanya hilal menurut pandangan manusia. Hilal bisa diperkirakan keberadaannya dengan memperhitungkan kriteria penampakan hilal (imkanur rukyat). Sementara itu, posisi bulan di atas ufuk dalam definisi sesungguhnya wujudul hilal tidak punya arti secara astronomis, karena tidak mungkin teramati. Ijtimak masih lebih baik, karena sewaktu-waktu masih bisa dibuktikan dengan gerhana matahari. Wujudul hilal hanya ada dalam teori. Jadi, bila ditimbang dari segi dasar pengambilan hukum, saya berpendapat hisab dengan kriteria imkan rukyat (walau pun masih terus disempurnakan, seperti lazimnya riset ilmiah) lebih dekat kepada dalil syar'i daripada kriteria wujudul hilal atau ijtima' qablal ghurub.
            Sesama pengguna rukyat pun keputusannya pun bisa berbeda antara penganut rukyat “murni” dan rukyat terpandu hisab. Dalam beberapa kali kesaksian rukyat murni (bebas hisab) yang kontroversial, satu-satunya penyelesaiannya adalah dengan sumpah. Secara syar'i mungkin itu sah. Apalagi para pengamat itu umumnya orang yang ditokohkan yang tidak diragukan lagi keimanannya dan kejujurannya. Tetapi dari segi kebenaran objek yang dilihatnya apakah benar-benar hilal atau objek terang lainnya, kita masih boleh meragukannya sebelum ada bukti ilmiah yang meyakinkannya.
            Bukti ilmiah yang bisa menguatkan kesaksian akan rukyatul hilal antara lain posisi hilal, bentuknya, serta waktu mulai teramati dan terbenamnya. Bukti ilmiah itu bisa diuji kebenarannya dengan rukyat hari-hari berikutnya. Bagi kalangan yang mempercayai rukyat terpandu hisab, bukti ilmiah itu bisa ditambah dengan hasil hisabnya. Hasil rukyat bisa segera dicocokkan dengan hasil hisabnya. Dengan kriteria hisabnya, kalangan ini bisa menolak kesaksian hilal bila dianggap meragukan. Misalnya, bulan semestinya (menurut hisab yang akurat) telah terbenam tidak mungkin bisa dirukyat.
            Perlukah bukti ilmiah itu? Saya berpendapat sangat perlu. Untuk saat ini, sumpah saja belum cukup. Pengamat hilal ternyata banyak juga yang belum memahami hilal dan belum bisa membedakannya dengan objek terang lainnya. Gangguan polusi di ufuk barat bisa menyulitkan pengamatan. Objek terang pada arah pandang saat ini juga bisa beragam, misalnya lampu nelayan, lampu pesawat terbang, atau planet Venus (bintang Kejora). Tidak heran bila sering terjadi kasus kesaksian hilal yang kontroversial.
            Perbedaan hari raya akibat perbedaan metode dan kriteria itu tampak          jelas pada penentuan Idul Fitri 1418. Saat itu untuk pertama kalinya, Menteri Agama tidak memberikan keputusan tegas dengan menyatakan bahwa pemerintah berhari raya pada 30 Januari 1998, namun mempersilakan ummat yang meyakini hari raya 29 Januari untuk shalat ied. Waktu itu Muhammadiyah yang menggunakan hisab wujudul hilal beridul fitri pada 29 Januari. Sedangkan Pemerintah dan Persis yang mempertimbangkan hisab dengan imkanur rukyat beridul fitri pada 30 Januari. NU di Jawa Timur dan sebagian Jawa Tengah menerima kesaksian di Bawean dan Cakung sehingga beridul fitri pada 29 Januari. Sedangkan, PB NU sepakat untuk beridul fitri 30 Januari karena rukyat itu dianggap tidak mungkin terjadi berdasarkan pertimbangan kriteria imkanur rukyat.

3.2.  Ijtihad Masalah Globalisasi
            Sumber perbedaan lainnya adalah masalah rukyat lokal dan rukyat global yang dipicu berkembangnya media komunikasi yang semakin cepat. Berita tentang penetapan awal Ramadan dan hari raya di Arab Saudi atau negara-negara lainnya dengan cepat tersebar dan sering menjadi acuan. Masalahnya, kemudian masyarakat menjadi bingung mana yang akan diturut.
            Dasar hukum rukyat lokal adalah hadits Nabi yang memerintahkan berpuasa bila melihat hilal dan berbuka atau beridul fitri bila melihat hilal. Sedangkan penampakan hilal bersifat lokal, tidak bisa secara seragam terlihat di seluruh dunia. Demi keseragaman hukum di suatu wilayah, pemimpin umat bisa menyatakan kesaksian di mana pun di wilayah itu berlaku untuk seluruh wilayah (prinsip wilayatul hukmi).
            Tidak perlunya mengikuti kesaksian hilal di wilayah lainnya bisa didasarkan pada tidak adanya dalil yang memerintahkan untuk bertanya pada daerah lain bila hilal tak terlihat. Dalil lainnya adalah ijtihad Ibnu Abbas tentang perbedaan awal Ramadan di Syam dan Madinah. Tampaknya, Ibnu Abbas berpendapat hadits Nabi itu berlaku di masing-masing wilayah.
            Tetapi, sebagian ulama lainnya berpendapat tidak ada batasan tempat kesaksian hilal. Di mana pun hilal teramati, itu berlaku bagi seluruh dunia. Dasarnya, karena hadits Nabi sendiri tidak memberi batasan keberlakukan rukyatul hilal itu, jadi mestinya berlaku untuk seluruh dunia. Namun mereka tidak merinci teknis pemberlakuan di seluruh dunia yang sebenarnya tidak sederhana. Belakangan di antara pengikut pendapat ini ada yang merumuskan, bila ada kesaksian hilal di mana pun, maka wilayah yang belum terbit fajar wajib menjadikannya sebagai dasar untuk berpuasa atau beridul fitri.
            Kedua pendapat itu hasil ijtihad dengan argumentasi masing-masing yang dianggapnya kuat. Hadits yang digunakannya sama. Penganut rukyat lokal bisa berargumentasi Nabi tidak memerintahkan bertanya tentang kesaksian hilal di wilayah lain. Penganut rukyat global bisa berargumentasi Nabi tidak membatasi keberlakukan kesaksian hilal. Manakah yang sebaiknya diikuti?
            Di dalam Q. S. 2:185 yang berkaitan dengan puasa Allah memberikan pedoman umum, "Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesulitan bagimu". Bila mengikuti rukyat global, setiap orang harus sabar berjaga sepanjang malam dalam ketidakpastian. Karena rukyat tidak bisa dipastikan di mana dan kapan bisa terlihat. Tentunya, hal ini lebih menyulitkan umat daripada rukyat lokal. Keputusan rukyat lokal cukup dinantikan sekitar 1-2 jam setelah maghrib.
            Untuk mendukung argumentasinya, ada yang berpendapat rukyat global lebih menjamin keseragaman daripada rukyat lokal. Tetapi analisis astronomi membantah pendapat itu. Baik rukyat global maupun rukyat lokal tidak mungkin menghapuskan perbedaan.
            Masalah yang juga sering muncul adalah ada kalangan yang menginginkan Idul Adha sama harinya dengan di Saudi Arabia. Terlepas dari perdebatan masalah dalilnya (Buletin Al-Ummah edisi 170 menyatakan "Idul Adha Berbeda adalah Bid'ah Munkaron";  Risalah No. 3/Mei 1999 membantah Al-Ummah edisi 171 dengan tulisan "Antara Hadits Amir Makkah dan Hadits Kuraib") saya meninjaunya dari segi astronominya. Apakah definisi "sama" harinya? Pengertian "sama" sangat relatif. Secara astronomi bisa berarti mengalami waktu siang secara bersamaan, dengan kata lain bila beda waktunya kurang dari 12 jam. Bila itu diterapkan dalam kasus di Hawaii yang beda waktunya dengan dengan Arab Saudi (dihitung ke arah timur) hanya 11 jam, definisi "sama" harinya malah berbeda tanggal. Misalnya, hari wukuf tanggal 16 April di Arab Saudi berarti tanggal 15 April di Hawaii. Lagi pula, pola pikir untuk menyamakan puasa hari Arafah di Indonesia harus sama dengan hari wukuf hanya terjadi bila kita tunduk pada sistem kalender syamsiah dan mengabaikan sistem kalender qamariyah yang disyariatkan. Saat wukuf di Arafah bisa terjadi di Indonesia masih tanggal 8 Dzulhijjah, jadi bukan waktunya untuk melaksanakan puasa hari Arafah.
            Hal itu dapat dijelaskan dengan meruntut perjalanan waktu berdasarkan peredaran bumi. Bagi Muslim di Timur Tengah puasa Arafah mulai sejak fajar (misalnya) 16 April 1997. Makin ke barat waktu fajar bergeser. Di Eropa Barat waktu fajar awal puasa kira-kira 3 jam sesudah di Arab Saudi. Makin ke barat lagi, di pantai barat Amerika Serikat waktu fajar awal puasa Arafah makin bergeser lagi, 11 jam setelah Arab Saudi. Di Hawaii, puasa Arafah juga masih 16 April, tetapi fajar awal puasanya sekitar 13 jam setelah Arab Saudi.
            Bila diteruskan ke barat, di tengah lautan Pasifik ada garis tanggal internasional. Mau tidak mau sebutan 16 April harus diganti menjadi 17 April walaupun hanya berbeda beberapa jam dengan Hawaii. Awal puasa Arafah di Indonesia pun yang dilakukan sekitar 7 jam setelah fajar di Hawaii, dilakukan dengan sebutan tanggal yang berbeda hanya gara-gara melewati garis tanggal internasional. Di Indonesia puasa Arafah yang dilakukan pada 17 April 1997 berarti tetap tanggal 9 Dzulhijjah, sama dengan tanggal qamariyah di Arab Saudi.

4.      Cara Menyikapi Perbedaan
            Perbedaan adalah bagian dari kebebasan ijtihadiyah yang dijamin dalam Islam. Masing-masing kelompok punya pendapat yang dianggapnya paling kuat. Dalam kaidah ijtihad, tidak ada pihak yang boleh mengklaim paling benar dan menyalahkan pihak lainnya. Islam mengajarkan, kesalahan dalam ijtihad masih mendapatkan pahala karena kesungguhannya dalam mencari solusi hukum.
            Persoalannya hanya pada masyarakat pengikutnya yang kadang-kadang menjadi bingung. Maka dalam masalah perbedaan hari raya (Idul Fitri atau Idul Adha) perlu difahami dulu sumber perbedaannya dan ikuti mana yang paling menentramkan hati. Bila tidak bisa memutuskan sendiri, jalan terbaik adalah mengikuti keputusan pemerintah yang merupakan hasil optimal dari berbagai pendapat yang berkembang di masyarakat. Apalagi ada perintah di dalam Alquran untuk mengikuti pemerintah (ulil amri) setelah mengikuti perintah Allah dan Rasul-Nya (QS 4:59).