1. Pendahuluan
Aplikasi astronomi (ilmu falak) yang langsung dirasakan masyarakat umum yang
utama adalah penentuan waktu dan arah. Umur Astronomi bisa dikatakan sama
dengan umur peradaban manusia. Matahari, bulan, dan bintang-bintang hampir tak
lepas dari kehidupan manusia. Keteraturan peredarannya dan posisinya yang
hampir tetap di langit pada suatu musim telah dijadikan sebagai penentu waktu
dan arah.
Pada
awal peradabannya, ketergantungan manusia pada benda-benda astronomis itu
demikian kuatnya, sampai-sampai ada yang mempertuhankan matahari atau bintang
paling terang (Sirius). Karena ketergantungannya, mereka pun selalu
memperhatikan perubahan-perubahan di langit. Dari pengalaman empirik tentang
keteraturan peredaran benda-benda langit itu kemudian berkembanglah astronomi
yang pada awalnya memfokuskan pada peredaran dan posisi benda-benda langit.
Almanak
astronomi merupakan salah satu produk evolusi pengetahuan manusia yang
memungkinkannya tidak perlu setiap saat memperhatikan langit. Keteraturan di
langit telah dirumuskan secara sistematik di dalamnya sehingga memudahkan orang
dalam memprakirakan fenomena astronomis -- terutama setelah ditemukannya teknologi
alternatif penentuan waktu (:jam) dan arah (:kompas). Almanak astronomi adalah
tabel, buku, atau perangkat lunak komputer yang menyajikan informasi tentang
waktu kejadian fenomena astronomis seperti saat terbit/terbenamnya matahari dan
bulan, fase bulan, posisi matahari, bulan, dan planet-planet, gerhana atau
okultasi benda-benda langit, serta waktu bintang (sidereal time).
Namun
kemajuan teknologi kemudian memunculkan masalah baru. Dikhotomi hisab
(perhitungan astronomi) dan rukyat (pengamatan astronomi) demikian lama menjadi
perdebatan hukum. Demikian juga timbul masalah lokal, regional, dan global
akibat berkembangnya teknologi informasi. Tanpa pemahaman dasar-dasar astronomi
dan syariat, masyarakat akan selalu dibuat bingung.
Pada
makalah ini akan dibahas beberapa hal berkaitan dengan penentuan bulan
qamariyah dan problematikanya. Pertama, akan dibahas masalah penentuan waktu.
Kedua, masalah sifat ijtihadiyah penentuan awal bulan qamariyah. Ketiga,
masalah globalisasi kelender hijriyah. Keempat, cara menyikapi perbedaan.
Terakhir, masalah mencari titik temu penentuan awal bulan qamariyah.
2. Penentuan waktu
Hilal
(bulan sabit pertama yang bisa diamati) digunakan sebagai penentu waktu ibadah.
Perubahan yang jelas dari hari ke hari menyebabkan bulan dijadikan penentu
waktu ibadah yang baik. Bukan hanya umat Islam yang menggunakan bulan sebagai
penentu waktu kegiatan ritual keagamaan. Umat Hindu menggunakan bulan mati
sebagai penentu hari Nyepi. Umat Budha menggunaka bulan purnama sebagai penentu
waktu Waisak. Umat Kistiani menggunakan purnama pertama setelah vernal equinox
(21 Meret) sebagai penentu hari Paskah, yaitu hari Ahad pertama setalah purnama
tersebut.
Islam
mengakui matahari dan bulan sebagai penentu waktu (QS 6:96; 10:5) karena
keduanya mempunyai periode peredaran yang teratur yang dapat dihitung (QS
55:5). Matahari digunakan untuk penentu pergantian tahun yang ditandai dengan
siklus musim. Kegiatan yang berkaitan dengan musim (seperti pertanian,
pelayaran, perikanan, migrasi) lebih praktis menggunakan kalender matahari.
Namun,
kalender matahari tidak bisa menentukan pergantian hari dengan cermat. Padahal
untuk kegiatan ritual agama kepastian hari diperlukan. Maka untuk kegiatan
agama, kalender bulan (qamariyah) digunakan. Pergantian hari pada kalender
qamariyah mudah dikenali hanya dengan melihat bentuk-bentuk bulan. Hilal pada
saat maghrib menunjukkan awal bulan. Setiap hari sabit bulan makin tebal dan
posisinya makin tinggi, bergeser ke arah timur 12 derajat, kira-kira selebar
kepalan tangan bila direntang ke depan. Bulan setengah pada saat maghrib
menunjukkan tanggal 7 atau 8 (tergantung pengamatan hilalnya). Dan bulan
purnama menunjukkan tanggal 14 atau 15 (tergantung pengamatan hilalnya).
Fase-fase bulan jelas waktu perubahannya dari bentuk sabit sampai kembali
menjadi sabit lagi (QS 36:39).
Rasulullah
SAW memberi pedoman praktis tentang penggunaan hilal sebagai penentu waktu:
"Berpuasalah bila melihatnya dan beridul fitri-lah bila melihatnya, bila
tertutup awan sempurnakan bulan Sya’ban 30 hari" (HR Bukhari-Muslim). Dan
dalam hadits lain, "Bila tertutup awan perkirakan" (HR Muslim).
Karena umur rata-ratanya 29,53 hari, satu bulan hanya mungkin 29 atau 30 hari,
jadi mudah diperkirakan atau amannya genapkan (istikmal) saja menjadi 30 hari.
Pedoman
yang diberikan Rasulullah SAW sangat sederhana. Karena memang Allah dan
Rasulnya tidak hendak menyulitkan ummatnya. "Allah menghendaki kemudahan bagimu, bukan menghendaki kesulitan"
(QS 2:185). Dalam pelaksanaan ibadah shaumnya Allah memberikan
keringanan-keringanan bagi yang mengalami kesulitan (sedang sakit atau dalam
perjalanan), mestinya dalam penentuan waktunya pun tentunya tidak menghendaki
kesulitan.
Kini
penentuan awal bulan tidak terbatas hanya dengan rukyatul hilal (pengamatan
hilal). Ada alternatif lain yang juga sederhana: ilmu hisab (perhitungan
astronomi). Berdasarkan pengalaman ratusan tahun, keteraturan periodisitas
fase-fase bulan diketahui dengan baik. Lahirlah ilmu hisab untuk menghitung
posisi bulan dan matahari. Akurasinya terus ditingkatkan, hingga ketepatan
sampai detik dapat dicapai. Ketepatan penentuan waktu gerhana matahari, yang
hakikatnya ijtimak (segaris bujurnya bulan dan matahari) yang teramati, sampai
detik-detiknya merupakan bukti yang tak terbantahkan.
Hisab
dan rukyat punya kedudukan sejajar. Rukyat harus tetap digunakan karena itulah
cara sederhana yang diajarkan Rasul. Hisab pun dijamin eksistensinya, karena
Allah menjamin peredaran bulan dan matahari dapat dihitung (QS 55:5). Sumber
perbedaan terletak pada keterbatasan manusia dalam mengatasi masalah atmosfer
bumi dan batas kepekaan mata manusia. Keberhasilan rukyat tergantung
kondisi atmosfer. Akurasi hisab terbentur pada formulasi faktor atmosfer bumi
untuk kriteria hilal agar teramati. Tidak ada superioritas di antara keduanya.
Superioritas justru sering muncul dari para penggunanya.
Jadi,
secara umum alasan utama dipilihnya kalender qamariyah -- walau tidak
dijelaskan secara eksplisit di dalam Hadits maupun Alquran -- nampaknya karena
alasan kemudahan dalam penentuan awal bulan dan kemudahan dalam mengenali
tanggal dari perubahan bentuk (fase) bulan. Ini berbeda dari kalender syamsiah
(kalender matahari) yang menekankan pada keajegan (konsistensi) terhadap
perubahan musim, tanpa memperhatikan tanda perubahan hariannya.
Dalam
perkembangannya saat ini, ternyata penentuan awal Ramadan dan hari raya tidak
lagi dapat dikatakan mudah. Dari segi teknis ilmiah, sebenarnya penentuannya
memang mudah karena merupakan bagian ilmu eksakta. Tetapi dalam penerapannya di
masyarakat susah, karena menyangkut faktor non-eksakta, seperti perbedaan
madzhab hukum (a.l. ada yang menganggap hisab tidak sah), perbedaan mathla'
(terkait dengan daerah berlakunya suatu kesaksian hilal), dan kepercayaan
kepada pemimpin ummat yang tidak tunggal.
3. Sifat Ijtihadiyah
Dalam
diskusi-diskusi tentang hisab dan rukyat, sering terlontar pernyataan bahwa
rukyat bersifat qath’i (pasti) hisab
bersifat dzhanni (dugaan) atau
sebaliknya ada yang menyatakan hisab bersifat qath’i rukyat bersifat dzhanni. Sifat qath’i atau dzhanni
berkaitan dengan penetapan hukumnya. Ini berkaitan dengan ijtihad, yaitu usaha
sungguh-sungguh para ulama dengan mengunakan akalnya untuk menetapkan hukum
sesuatu yang belum ditetapkan secara tegas dalam Alquran dan Assunnah. Ijtihad
menjadi sumber hukum ketiga sesudah Alquran dan Assunnah. Hal yang dianggap
qath’i sudah dianggap pasti benarnya, tidak ada lagi interpretasi.
Sebenarnya,
kesaksian melihat hilal (ru'yatul hilal), keputusan hisab, dan akhirnya
keputusan penetapan awal Ramadhan dan hari raya oleh pemimpin ummat semuanya
adalah hasil ijtihad, yang hakikatnya bersifat dzhanni. Kebenaran hasil ijtihad
relatif. Kebenaran mutlak hanya Allah yang tahu. Tetapi orang yang berijtihad
dan orang-orang yang mengikutinya meyakini kebenaran suatu keputusan ijtihad
itu berdasarkan dalil-dalil syariah dan bukti empirik yang diperoleh.
Kesaksian
rukyat tidak mutlak kebenarannya. Mata manusia bisa salah lihat. Mungkin yang
dikira hilal sebenarnya objek lain. Keyakinan bahwa yang dilihatnya benar-benar
hilal harus didukung pengetahuan dan pengalaman tentang pengamatan hilal. Hilal
itu sangat redup dan sulit mengidentifikasikannya, karena mungkin hanya tampak
seperti garis tipis atau sekadar titik cahaya. Saat ini satu-satunya cara di Indonesia
untuk meyakinkan orang lain tentang kesaksian itu adalah sumpah yang
dipertanggungjawabkan kepada Allah. Jaminan kebenaran rukyatul hilal hanya
kepercayaan pada pengamat yang biasanya tidak bisa diulangi oleh orang lain.
Hisab
pun hasil ijtihad yang didukung bukti-bukti pengamatan yang sangat banyak.
Rumus-rumus astronomi untuk keperluan hisab dibuat berdasarkan pengetahuan
selama ratusan tahun tentang keteraturan peredaran bulan dan matahari
(tepatnya, peredaran bumi mengelilingi matahari) (Q. S. 6:96). Makin lama,
hasil perhitungannya makin akurat dengan memasukkan makin banyak faktor. Orang
mempercayai hasil hisab karena didukung bukti-bukti kuat tentang ketepatannya,
seperti hisab gerhana matahari yang demikian teliti sampai orde detik. Gerhana
matahari pada hakikatnya adalah ijtimak (bulan baru) yang teramati. Maka
jaminan kebenarannya lebih kuat dari pada rukyat, karena orang lain bisa
mengujinya dan pengamatan posisi bulan bisa membuktikannya. Namun, dalam hal
penetapan awal bulan hisab tergantung kriteria yang digunakan dalam mengambil
keputusan. Ada yang berdasarkan wujudul hilal (hilal di atas ufuk), ada yang
berdasarkan ijtima' qablal ghurub, dan ada juga yang berdasarkan imkan rukyat
(syarat-syarat hisab untuk terlihatnya hilal berdasarkan pengalaman
pengamatan).
Keputusan
penetapan awal Ramadan dan hari raya itu pun hasil ijtihad. Berdasarkan
kesaksian ru'yatul hilal atau hisab yang dianggap sah, pemimpin ummat
(pemerintah, ketua organisasi Islam, atau imam masjid) kemudian menetapkannya.
Karena pemimpin ummat di dunia ini tidak tunggal, keputusannya pun bisa
beragam, hal yang wajar dalam proses ijtihad. Akibatnya, perbedaan penentuan
awal Ramadhan, Idul Fitri, atau Idul Adha semestinya dianggap hal yang wajar
juga.
Sifat
ijtihadiyah hisab dan rukyat memungkinkan terjadinya keragaman. Baik hisab
maupun rukyat sama-sama berpotensi benar dan salah. Bulan dan matahari yang
dihisab dan dirukyat masing-masing memang satu. Hukum alam yang mengatur
gerakannya pun satu, sunnatullah. Tetapi, interpretasi orang atas hasil hisab
bisa beragam. Lokasi pengamatan dan keterbatasan pengamatan juga tidak mungkin
disamakan.
3.1. Ijtihad Masalah Kriteria
Semula
para ulama mempertentangkan hisab dengan rukyat saja. Kini hisab pun
dipertentangkan dengan hisab. Kriteria hisab mana yang akan dijadikan pegangan.
Di Indonesia setidaknya ada dua kriteria hisab yang dianut: wujudul hilal (+
ijtimak qablal ghurub dan imkanur rukyat). Kriteria wujudul hilal menyatakan asalkan bulan telah wujud di atas ufuk
pada saat maghrib sudah dianggap masuk bulan baru. Kriteria ini dipakai oleh
Muhammadiyah (dengan prinsip wilayatul hukmi, wujud di sebagian wilayah berlaku
untuk seluruh Indonesia), Persis pasca 4 November 2002 (tanpa prinsip wilayatul
hukmi), dan Depag dalam penentuan kalender resmi pra-2002. Kriteria yang mirip
adalah ijtima' qablal ghurub, asalkan
ijtimak terjadi sebelum maghrib sudah dianggap masuk bulan baru. Kriteria ini
tampaknya pernah digunakan dalam almanak Persis (pra-1422) yang hanya
mencantumkan saat ijtimak. Kriteria lainnya adalah imkanur ru'yat, berdasarkan perkiraan mungkin tidaknya hilal
dirukyat. Kriteria ini dalam rumusan kriteria MABIMS (Menteri-menteri agama
Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura, tinggi bulan minimum pada saat
maghrib 2 derajat dan umur bulan sejak ijtima' minimum 8 jam) digunakan oleh
Depag RI sejak 2002 dan almanak Persis 1422 dan 1423.
Perintah
operasional puasa dan beridul fitri dalam hadits didasarkan pada rukyatul
hilal. Di dalam Alquran walaupun bulan dan matahari disebut sebagai alat untuk
perhitungan waktu (Q. S. 6:96), tetapi dalam prakteknya, hilal yang dijadikan acuan (Q. S. 2:189), bukan
posisi bulan. Wujudnya bulan di atas ufuk atau ijtima' qablal ghurub belum
menjamin adanya hilal menurut pandangan manusia. Hilal bisa diperkirakan
keberadaannya dengan memperhitungkan kriteria penampakan hilal (imkanur
rukyat). Sementara itu, posisi bulan di atas ufuk dalam definisi
sesungguhnya wujudul hilal tidak punya arti secara astronomis, karena tidak
mungkin teramati. Ijtimak masih lebih baik, karena sewaktu-waktu masih bisa
dibuktikan dengan gerhana matahari. Wujudul hilal hanya ada dalam teori. Jadi, bila ditimbang dari segi dasar pengambilan
hukum, saya berpendapat hisab dengan kriteria imkan rukyat (walau pun masih terus
disempurnakan, seperti lazimnya riset ilmiah) lebih dekat kepada dalil syar'i
daripada kriteria wujudul hilal atau ijtima' qablal ghurub.
Sesama
pengguna rukyat pun keputusannya pun bisa berbeda antara penganut rukyat
“murni” dan rukyat terpandu hisab. Dalam beberapa kali kesaksian rukyat murni
(bebas hisab) yang kontroversial, satu-satunya penyelesaiannya adalah dengan
sumpah. Secara syar'i mungkin itu sah. Apalagi para pengamat itu umumnya orang
yang ditokohkan yang tidak diragukan lagi keimanannya dan kejujurannya. Tetapi
dari segi kebenaran objek yang dilihatnya apakah benar-benar hilal atau objek
terang lainnya, kita masih boleh meragukannya sebelum ada bukti ilmiah yang
meyakinkannya.
Bukti
ilmiah yang bisa menguatkan kesaksian akan rukyatul hilal antara lain posisi
hilal, bentuknya, serta waktu mulai teramati dan terbenamnya. Bukti ilmiah itu
bisa diuji kebenarannya dengan rukyat hari-hari berikutnya. Bagi kalangan yang
mempercayai rukyat terpandu hisab, bukti ilmiah itu bisa ditambah dengan hasil
hisabnya. Hasil rukyat bisa segera dicocokkan dengan hasil hisabnya. Dengan
kriteria hisabnya, kalangan ini bisa menolak kesaksian hilal bila dianggap
meragukan. Misalnya, bulan semestinya (menurut hisab yang akurat) telah
terbenam tidak mungkin bisa dirukyat.
Perlukah
bukti ilmiah itu? Saya berpendapat sangat perlu. Untuk saat ini, sumpah saja
belum cukup. Pengamat hilal ternyata banyak juga yang belum memahami hilal dan
belum bisa membedakannya dengan objek terang lainnya. Gangguan polusi di ufuk
barat bisa menyulitkan pengamatan. Objek terang pada arah pandang saat ini juga
bisa beragam, misalnya lampu nelayan, lampu pesawat terbang, atau planet Venus
(bintang Kejora). Tidak heran bila sering terjadi kasus kesaksian hilal yang
kontroversial.
Perbedaan
hari raya akibat perbedaan metode dan kriteria itu tampak jelas pada penentuan Idul Fitri 1418.
Saat itu untuk pertama kalinya, Menteri Agama tidak memberikan keputusan tegas
dengan menyatakan bahwa pemerintah berhari raya pada 30 Januari 1998, namun mempersilakan
ummat yang meyakini hari raya 29 Januari untuk shalat ied. Waktu itu
Muhammadiyah yang menggunakan hisab wujudul hilal beridul fitri pada 29
Januari. Sedangkan Pemerintah dan Persis yang mempertimbangkan hisab dengan
imkanur rukyat beridul fitri pada 30 Januari. NU di Jawa Timur dan sebagian
Jawa Tengah menerima kesaksian di Bawean dan Cakung sehingga beridul fitri pada
29 Januari. Sedangkan, PB NU sepakat untuk beridul fitri 30 Januari karena
rukyat itu dianggap tidak mungkin terjadi berdasarkan pertimbangan kriteria
imkanur rukyat.
3.2. Ijtihad Masalah
Globalisasi
Sumber
perbedaan lainnya adalah masalah rukyat lokal dan rukyat global yang dipicu
berkembangnya media komunikasi yang semakin cepat. Berita tentang penetapan
awal Ramadan dan hari raya di Arab Saudi atau negara-negara lainnya dengan
cepat tersebar dan sering menjadi acuan. Masalahnya, kemudian masyarakat
menjadi bingung mana yang akan diturut.
Dasar
hukum rukyat lokal adalah hadits Nabi yang memerintahkan berpuasa bila melihat
hilal dan berbuka atau beridul fitri bila melihat hilal. Sedangkan penampakan
hilal bersifat lokal, tidak bisa secara seragam terlihat di seluruh dunia. Demi
keseragaman hukum di suatu wilayah, pemimpin umat bisa menyatakan kesaksian di
mana pun di wilayah itu berlaku untuk seluruh wilayah (prinsip wilayatul
hukmi).
Tidak
perlunya mengikuti kesaksian hilal di wilayah lainnya bisa didasarkan pada
tidak adanya dalil yang memerintahkan untuk bertanya pada daerah lain bila
hilal tak terlihat. Dalil lainnya adalah ijtihad Ibnu Abbas tentang perbedaan
awal Ramadan di Syam dan Madinah. Tampaknya, Ibnu Abbas berpendapat hadits Nabi
itu berlaku di masing-masing wilayah.
Tetapi,
sebagian ulama lainnya berpendapat tidak ada batasan tempat kesaksian hilal. Di
mana pun hilal teramati, itu berlaku bagi seluruh dunia. Dasarnya, karena
hadits Nabi sendiri tidak memberi batasan keberlakukan rukyatul hilal itu, jadi
mestinya berlaku untuk seluruh dunia. Namun mereka tidak merinci teknis
pemberlakuan di seluruh dunia yang sebenarnya tidak sederhana. Belakangan di
antara pengikut pendapat ini ada yang merumuskan, bila ada kesaksian hilal di
mana pun, maka wilayah yang belum terbit fajar wajib menjadikannya sebagai
dasar untuk berpuasa atau beridul fitri.
Kedua
pendapat itu hasil ijtihad dengan argumentasi masing-masing yang dianggapnya
kuat. Hadits yang digunakannya sama. Penganut rukyat lokal bisa berargumentasi
Nabi tidak memerintahkan bertanya tentang kesaksian hilal di wilayah lain.
Penganut rukyat global bisa berargumentasi Nabi tidak membatasi keberlakukan
kesaksian hilal. Manakah yang sebaiknya diikuti?
Di
dalam Q. S. 2:185 yang berkaitan dengan puasa Allah memberikan pedoman umum,
"Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesulitan
bagimu". Bila mengikuti rukyat global, setiap orang harus sabar berjaga
sepanjang malam dalam ketidakpastian. Karena rukyat tidak bisa dipastikan di
mana dan kapan bisa terlihat. Tentunya, hal ini lebih menyulitkan umat daripada
rukyat lokal. Keputusan rukyat lokal cukup dinantikan sekitar 1-2 jam setelah
maghrib.
Untuk
mendukung argumentasinya, ada yang berpendapat rukyat global lebih menjamin
keseragaman daripada rukyat lokal. Tetapi analisis astronomi membantah pendapat
itu. Baik rukyat global maupun rukyat lokal tidak mungkin menghapuskan
perbedaan.
Masalah
yang juga sering muncul adalah ada kalangan yang menginginkan Idul Adha sama
harinya dengan di Saudi Arabia. Terlepas dari perdebatan masalah dalilnya
(Buletin Al-Ummah edisi 170 menyatakan "Idul Adha Berbeda adalah Bid'ah
Munkaron"; Risalah No. 3/Mei 1999
membantah Al-Ummah edisi 171 dengan tulisan "Antara Hadits Amir Makkah dan
Hadits Kuraib") saya meninjaunya dari segi astronominya. Apakah definisi
"sama" harinya? Pengertian "sama" sangat relatif. Secara
astronomi bisa berarti mengalami waktu siang secara bersamaan, dengan kata lain
bila beda waktunya kurang dari 12 jam. Bila itu diterapkan dalam kasus di
Hawaii yang beda waktunya dengan dengan Arab Saudi (dihitung ke arah timur)
hanya 11 jam, definisi "sama" harinya malah berbeda tanggal.
Misalnya, hari wukuf tanggal 16 April di Arab Saudi berarti tanggal 15 April di
Hawaii. Lagi pula, pola pikir untuk menyamakan puasa hari Arafah di Indonesia
harus sama dengan hari wukuf hanya terjadi bila kita tunduk pada sistem
kalender syamsiah dan mengabaikan sistem kalender qamariyah yang disyariatkan.
Saat wukuf di Arafah bisa terjadi di Indonesia masih tanggal 8 Dzulhijjah, jadi
bukan waktunya untuk melaksanakan puasa hari Arafah.
Hal
itu dapat dijelaskan dengan meruntut perjalanan waktu berdasarkan peredaran
bumi. Bagi Muslim di Timur Tengah puasa Arafah mulai sejak fajar (misalnya) 16
April 1997. Makin ke barat waktu fajar bergeser. Di Eropa Barat waktu fajar
awal puasa kira-kira 3 jam sesudah di Arab Saudi. Makin ke barat lagi, di pantai
barat Amerika Serikat waktu fajar awal puasa Arafah makin bergeser lagi, 11 jam
setelah Arab Saudi. Di Hawaii, puasa Arafah juga masih 16 April, tetapi fajar
awal puasanya sekitar 13 jam setelah Arab Saudi.
Bila
diteruskan ke barat, di tengah lautan Pasifik ada garis tanggal internasional.
Mau tidak mau sebutan 16 April harus diganti menjadi 17 April walaupun hanya
berbeda beberapa jam dengan Hawaii. Awal puasa Arafah di Indonesia pun yang
dilakukan sekitar 7 jam setelah fajar di Hawaii, dilakukan dengan sebutan
tanggal yang berbeda hanya gara-gara melewati garis tanggal internasional. Di
Indonesia puasa Arafah yang dilakukan pada 17 April 1997 berarti tetap tanggal
9 Dzulhijjah, sama dengan tanggal qamariyah di Arab Saudi.
4.
Cara Menyikapi Perbedaan
Perbedaan
adalah bagian dari kebebasan ijtihadiyah yang dijamin dalam Islam.
Masing-masing kelompok punya pendapat yang dianggapnya paling kuat. Dalam
kaidah ijtihad, tidak ada pihak yang boleh mengklaim paling benar dan
menyalahkan pihak lainnya. Islam mengajarkan, kesalahan dalam ijtihad masih
mendapatkan pahala karena kesungguhannya dalam mencari solusi hukum.
Persoalannya
hanya pada masyarakat pengikutnya yang kadang-kadang menjadi bingung. Maka
dalam masalah perbedaan hari raya (Idul Fitri atau Idul Adha) perlu difahami
dulu sumber perbedaannya dan ikuti mana yang paling menentramkan hati. Bila
tidak bisa memutuskan sendiri, jalan terbaik adalah mengikuti keputusan
pemerintah yang merupakan hasil optimal dari berbagai pendapat yang berkembang
di masyarakat. Apalagi ada perintah di dalam Alquran untuk mengikuti pemerintah
(ulil amri) setelah mengikuti perintah Allah dan Rasul-Nya (QS 4:59).
Assalamu'alaikum ! Wah...bagus, Kank. Terimakasih. Insya Allaoh Bermanfaat..Amiin ! Sayang baru satu artikel, Kita tunggu artikel2 yang lainnya, ya !? Eh.. Kank sekalian buat perhitungan Nurul Anwar Markaz Cianjur untuk Bulan Dzul Hijjah 1432...
BalasHapusTerimakasih.
Apakayank.